Ilustrasi
"Kami menemukan pasal yang potensial mengkriminalisasikan pelapor. Lantas di mana jaminan perlindungan untuk pelapor kasus korupsi?" kata Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah dalam keterangan pers yang disampaikan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (27/3/2011).
Menurut Febri, ketentuan mengenai pelapor kasus korupsi itu terdapat dalam pasal 18 revisi UU Tipikor yang tengah digodok pemerintah. Ia melanjutkan, pelapor seharusnya tidak bisa dijerat hukuman atas kasus korupsi yang diketahuinya.
"Soal dugaan korupsi yang dilaporkan itu cukup bukti atau tidak bukanlah urusan pelapor, melainkan urusan penegak hukum. Sudah diatur pula dalam UU bahwa saksi pelapor tidak bisa diancam pidana atau perdata karena laporannya," ucap Febri.
Hal aneh lainnya yang ditemukan ICW saat menelaah revisi UU Tipikor itu adalah sanksi untuk mafia hukum justru melemah. Di UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, suap untuk penegak hukum seperti hakim diancam minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun.
"Sedangkan di RUU Tipikor ancaman hukumannya minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 bulan," ucapnya.
Revisi UU Tipikor, lanjut Febri, juga tidak secara jelas menyebut kewenangan KPK dalam bidang penuntutan kasus korupsi (pasal 32). Padahal di pasal sebelumnya, KPK disebut secara jelas berwenang untuk menyidik kasus korupsi di samping Kepolisian dan Kejaksaan.
"Ini menimbulkan tanda tanya serius, apakah ini cara untuk membonsai KPK?" ucap Febri.
0 komentar:
Posting Komentar